Muda Tak Beretorika, tetapi Nir-etika, Inikah Wajah Asli Calon Pemimpin Indonesia?
- Afina D. Raharjo
- Jan 23, 2024
- 2 min read

"Tanpa etika, manusia tidak mempunyai masa depan." —John Berger
Seperti yang kita ketahui, sejak dahulu bangsa Indonesia dikenal mengedepankan etika dan sopan-santun dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Etika atau sering disebut akhlak telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kita yang menganut budaya ketimuran. Karenanya, etika dan sopan santun jadi tolok ukur karakter atau kepribadian seseorang, tak terkecuali calon presiden Indonesia.
Berbicara tentang etika, menurut saya etika Gibran di Debat Cawapres pada hari Minggu malam (21/01/24) jadi perhatian. Ini juga catatan penting untuk kita semua.
Bagaimana mungkin seorang calon wakil presiden termuda menunjukkan gesture "ngenyek" atau merendahkan kepada Prof. Mahfud di depan umum pasca memberikan pertanyaan tentang "greenflation". Menurutnya, Prof. Mahfud tidak mampu menjawab pertanyaanya—tidak memberi jawaban yang memuaskan—sehingga ia harus mencari jawabannya.
Ditambah lagi Gibran menganggap Prof. Mahfud seolah-olah "ensiklopedia berjalan" yang tahu semua hal dengan mengatakan, "...ini tadi tidak saya jelaskan karena beliau kan seorang Profesor..."
Apakah yang dilakukan Gibran itu untuk memuaskan egonya dan pendukungnya saja? Apakah itu gimmick? Entahlah. Perwakilan anak muda, katanya. Namun, pantaskah berbuat seperti itu saat berdebat dan adu gagasan di depan publik?
Gibran benar-benar membuat suasana debat tak kondusif. Bahkan, beberapa kali langgar aturan debat.
Lebih lanjut, debat kedua cawapres penuh dengan logical fallacy dan ad hominem. Akan tetapi, yang banyak tersorot etika Gibran saat debat.
Kenapa? Jawabannya sederhana, kita hidup di Indonesia yang menjunjung tinggi etika, khususnya kepada orang yang lebih tua.
Pesan saya (ini juga pengingat kepada diri sendiri), jangan sampai karena merasa muda, kita menjadi pribadi yang tidak respect dan sok asik. Seyogyanya, paham jika etika itu cerminan diri dan kepribadian seseorang, tak peduli berapapun umurnya.
Untuk relate dengan para pemuda, tak perlu melakukan hal-hal niretika seperti itu, apalagi sampai keluar dari nilai-nilai filosofis bangsa Indonesia.
Boleh saja menyukai Gibran, tak ada yang melarang, tetapi jangan sampai fanatik buta sehingga mewajarkan yang kurang pantas, apalagi menghubungkan sikap Gibran kepada Pak Mahfud dengan kritik Pak Anies kepada Pak Prabowo sebagai suatu balasan. Padahal yang dilakukan Pak Anies saat debat jelas-jelas kritik kinerja, bukan serangan personal.
Barangkali beberapa orang lupa kalau Pak Jokowi pernah mempertanyakan hal serupa kepada Pak Prabowo pada pilpres sebelumnya. Aneh saja ketika narasinya berbeda saat Pak Anies melakukannya.
Tampaknya tak berlebihan jika saya katakan kalau rakyat Indonesia perlu belajar lagi tentang kritik dan sesat pikir (logical fallacy). Jadi, bisa lebih rasional dalam menilai suatu pernyataan dan argumentasi.
Dalam debat kemarin, saya salut dengan Prof. Mahfud yang bisa menahan diri dan tidak menggubris feedback yang dilontarkan Gibran. Sikap Prof. Mahfud jelas tegas dan berani. Menyiratkan pesan bahwa tak semua harus ditanggapi.
Teruntuk Cak Imin, You did a great job, Cak! Kerja keras Anda terbayarkan. Debat kali ini lebih baik dari sebelumnya, meskipun ada beberapa catatan kecil. #StudyMakesChaImWin👌🏻
"Mendidik pikiran tanpa mendidik hati bukan pendidikan sama sekali." — Aristotles
Comments