Koherensi antara Karakter dengan Relasi
- Afina D. Raharjo
- Mar 31, 2021
- 2 min read
Reputasi bisa saja dibuat, karakter tidak

"Character is not something that you buy; it is not a commodity that can be bartered for; it is not a quality suited for only the rich and famous; rather, character is built upon the foundational commitment of love, honesty, and compassion for others. (Karakter bukanlah sesuatu yang kamu beli; bukan suatu komoditas yang bisa ditukar; bukan kualitas yang hanya cocok untuk orang kaya dan terkenal; sebaliknya, karakter dibangun di atas komitmen dasar cinta, kejujuran, dan kasih sayang untuk orang lain.)" — Byron R. Pulsifer Istilah karakter, sifat, dan sikap mungkin istilah yang awam kita dengar dan melekat dalam kehidupan kita sehari-hari. Menurut Zubaedi dalam Desain Pendidikan Karakter, karakter erat kaitanya dengan personality (kepribadian) seseorang. Seseorang bisa disebut orang yang berkarakter (a person of character) apabila perilakunya sesuai dengan kaidah moral.
Catherine Pulsifer dalam Attitude Determines Everything berkata, "Our attitude can be seen in our character, how we approach things, what our beliefs are, our perspective on issues, how we approach life, our position on topics, basically our view on life. (Sikap kita dapat dilihat dari karakter kita, bagaimana kita mendekati sesuatu, apa keyakinan kita, perspektif kita tentang masalah, bagaimana kita mendekati kehidupan, posisi kita pada topik, utamanya pandangan kita pada kehidupan)." Pada akhirnya, yang paling tahu diri dan karakter kita adalah pasangan, orang tua, atau sahabat. Keluarga dan kolega cenderung tahu segelintir (sebagian kecil) saja. Sebagus apapun mereka menggambarkan imej kita di depan orang lain, tidak akan bisa menerangkan kita secara utuh sampai seseorang berurusan langsung dengan kita.
Mengapa pasangan, orang tua, dan sahabat dikategorikan sebagai orang yang paling kenal dengan kita? Karena mereka dapat berkomunikasi dan bersosialisasi dengan kita tanpa adanya dinding pembatas (perasaan sungkan dan malu). Kita bisa menjadi diri sendiri di depan mereka; baik buruknya kita akan terlihat di depan mereka. Itulah kenapa dalam agama dikatakan bahwa akhlak seseorang yang sebenarnya terlihat dari bagaimana ia memperlakukan pasangan dan orang tuanya. Tidak peduli seberapapun garangnya di luar rumah, jika ia baik dalam memperlakukan pasangan dan orang tuanya, maka itulah akhlak yang sebenar-benarnya.
Jangan sampai terbalik. Memoles imej baik di depan orang lain demi impresi, namun saat dengan orang terdekat malah cenderung menyakiti dengan dalih komprehensi dan kompromi. Terkadang, yang paling menjengkelkan dari itu semua adalah menuntut orang menerima sifat buruk yang ada tanpa adanya keinginan memperbaiki diri. Tidak, kita tidak bisa memaksakan orang menerima sifat buruk kita. Kita harus berbenah dan berusaha memperbaikinya. Rasanya, sangat tidak adil meminta orang menerima sifat buruk yang jelas bisa kita ubah. Kasihan mereka. Janganlah kita menjadi individu yang egois, mengatasnamakan cinta untuk memaksakan kehendak kita pada orang lain.
John Wooden berkata, "Be more concerned with your character than your reputation, because your character is what you really are, while your reputation is merely what others think you are. (Lebih pedulilah dengan karaktermu dibandingkan reputasimu, karena karaktermu adalah dirimu yang sebenarnya, sedangkan reputasimu hanyalah apa yang orang lain pikirkan tentangmu)."
Comments