top of page

Menyingkap Hedonic Treadmill: Mengejar Kebahagiaan Sementara dengan Tampilan Luar yang Istimewa


Tidak masalah bersikap biasa saja dan tidak mengikuti tren. Pada akhirnya, semua tentang bahagia~

Hedonic Treadmill
Hedonic Treadmill Phenomenon

Dewasa ini banyak yang meyakini bahwa meningkatkan standar hidup dapat meningkatkan rasa bahagia sehingga banyak yang bebondong-bondong mengejar sesuatu yang tidak terlalu prinsipal. Dengan alasan tren—Fear of Missing Out (FoMO); takut dicemooh sekitar; atau gengsi—ingin memberi makan ego sendiri, banyak yang rela menguras habis tabungan bahkan memaksakan diri berhutang untuk membeli kesenangan yang bersifat sementara. Apakah salah berlaku demikian? Ya, tidak. Meminta sesuatu kepada diri sendiri atas dasar ingin menyenangkan diri itu sah-sah saja. Tidak ada yang melarang. Mungkin pesannya adalah agar jangan belebihan yang berdampak negatif kepada diri di kemudian hari. Toh, akan ada yang berpendapat tentang semakin tinggi penghasilan maka akan semakin tinggi pengeluaran. Ada pula yang berkeyakinkan bahwa penghasilan tinggi tak mengharuskan gaya hidup tinggi karena itu mindset semata. Hakikatnya, manusia adalah makhluk yang suka bergaya dan "tampil". Sifat ini hampir selalu ada di diri manusia. Namun, sayangnya, masih banyak yang sulit membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Kadangkala, manusia (kita) merasa harus meraih sesuatu dengan dalih kebutuhan urgen. Padahal, kalau ditelaah atau direnungkan, tidak seberapa urgen. Alhasil, setelah diraih cenderung merasa kurang dan masih belum (cukup) bahagia. Adapun istilah yang dipakai untuk menggambarkan kondisi tersebut adalah Hedonic Treadmill.

Hedonic Treadmill
The Hedonic Treadmill — Are we forever chasing rainbow?

Dikutip dari Glints, Hedonic treadmill adalah sebuah tendensi level emosi kebahagiaan seseorang yang cenderung kembali ke asal, tidak berubah, tetap atau berada di tempat meskipun mencapai kesuksesan. Pada intinya, hedonic treadmill adalah orang yang berlari dan mengejar sesuatu namun tetap berada di tempat. Hedonic treadmill bisa menjebak dan menyerang siapa saja, utamanya bagi individu yang gampang "triggered" oleh keberhasilan dan pencapaian orang lain. Secara tidak disadari, kondisi ini membuat seseorang berpikiran bahwa jika mencapai suatu titik tertentu dan memiliki sesuatu yang diidam-idamkan, ia akan lebih bisa menikmati hidup. Padahal, tidak. Ketika berada di titik tersebut, ia tetap tidak bisa memaknai hidupnya. Ia tetap merasa kurang dan perlu mencapai atau memiliki hal baru lainnya. Sebagai contoh, saya adalah seorang penggemar motor gede (moge). Saya memiliki satu moge di rumah. Baru-baru ini dirilis moge berwarna metalik yang sangat menggoda. Kemudian, saya pun berambisi membeli moge baru tersebut untuk meningkatkan kepercayaan diri saya di depan teman dan kolega. Dengan menunjukkan keberhasilan saya membeli moge baru, saya pun merasa bahagia. Tetapi lama kelamaan rasa itu memudar ketika moge series lain keluar dan menawarkan mesin lebih gahar. Saat itu, saya berpendapat bahwa kebahagiaan saya akan bertambah jika saya bisa memiliki moge bermesin gahar tersebut.

Hedonic Treadmill
Hedonic Adaptation

Jika dipikir-pikir, hedonic treadmill dapat menjadi penghalang seseorang untuk mencapai kebahagiaan hidup yang sesungguhnya. Padahal, kita tahu jikalau setiap individu bertumbuh, bergerak maju, dan berkembang; setiap individu menjadi pribadi yang berbeda setiap harinya, tidak sama. Lagipula, bahagia itu ketika kita mampu mensyukuri apapun yang ada di dalam hidup kita. Jika kita menakar kebahagiaan dari materi, berapapun banyaknya tidak pernah cukup. Kata cukup hanya akan bisa diraih ketika kita bisa tegas kepada diri sendiri dan tahu kapan berhenti untuk mengejar bahagia yang bersifat sementara.

 
 
 

Comments


  • linkedin
  • instagram
  • generic-social-link

©2019 by Afina Dhuhaini. Proudly created with Wix.com

bottom of page